Geotrek Curug Jompong Tahun 1918

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya Curug Jompong Dulu dan Sekarang

Pernah gak membayangkan bahwa geotrek itu sudah ada sejak 100 tahun yang lalu? Atau lebih mantap lagi pernah gak membayangkan bahwa geotrek ke Curug Jompong itu sudah ada sejak 100 tahun yang lalu?

urn-gvn-VKM01-A92-32-large (2)
Curug Jompong tahun 1915. Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde. Foto: 

Ternyata budaya berkelompok dan mengunjungi objek geowisata bersama-sama sudah dikenal sejak lama. Dalam sebuah pengumuman yang dimuat oleh Harian Umum Hindia: Tanah Priangan (nama asli korannya Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode), Perkumpulan Sejarah dan Alam Cabang Bandung mengajak anggotanya atau mungkin masyarakat umum untuk ikut dalam ekskursi mereka ke Curug Jompong. Pengumuman ini bertanggal 19 Desember 1918, hampir 100 tahun yang lalu. Modelnya persis dengan geotrek yang biasa dilakukan oleh komunitas-komunitas di Bandung.

Seperti apa ceritanya? Berikut artikel yang telah dialihbahasakan secara bebas dengan bantuan Google Translate.

Perkumpulan Sejarah dan Alam cabang Bandung mengadakan ekskursi pada tanggal 22 Desember tahun ini ke salah satu jeram Ci Tarum di daerah Leuwi Sapi yang dikenal sebagai Curug Jompong. Jeram ini terbentuk akibat halangan dari batuan andesit piroksen (salah satu spesies batuan tertua berumur miosen), dan merupakan tipe batuan yang langka, karena hanya ditemukan beberapa saja di Pulau Jawa. Lokasinya sekitar 7 km arah selatan dari Cimahi. 

Peserta yang ingin ikut bisa berkumpul jam 6 pagi di Pasar Andir dan dari sana kita akan berjalan kaki ke arah selatan. Rute ini secara umum jalan setapak, tapi akan menyenangkan karena kita akan melihat banyak desa-desa di sepanjang jalan yang jarang kita lihat karena tidak terletak di jalan utama. 

Setelah dua jam berjalan kaki kita akan sampai di daerah Gadjah di tepi Ci Tarum. Kita sebrangi Ci Tarum lewat sebuah jembatan bambu yang indah, mengobati energi kita yang terkuras habis di sini. 

Gadjah pada waktu lampau merupakan ibukota dari Kabupaten Batulayang, tetapi harus didirikan dan dibangun ulang oleh Rangga Abdoelrachman. Pada tahun 1802, kabupaten ini dilebur ke Bandung karena bupatinya berlaku buruk karena kebanyakan mabuk dan mengonsumsi opium. Kabupaten ini juga enggan membayar pajak pada Batavia dan akibatnya Bupati Bandung harus menalangi tagihan kabupaten ini. 

Gadjah yang sekarang (tahun 1918) merupakan desa kecil di tepi Ci Tarum dan kita bisa temukan makam dari Bupati Batulayang. “Bupati, istri, dan anaknya dimakamkan di sini”, kata penduduk setempat. Di makamnya ada atap kayu dan makamnya di kelilingi oleh pagar bambu yang tidak rapi. Penduduk lokal tidak tahu siapa nama bupati itu, dan hanya menyebutnya sebagai “Dalem”, yang mana merupakan sebutan umum untuk bupati di wilayah ini. Kemungkinan besar itu adalah makan Raden Tumenggung Angadiredja.

Di depan pintu masuk utama, ditemukan arca/gambar Ganesha, Dewa India yang merupakan dewa ilmu pengetahuan dan berbentuk gajah. Gambar inilah kemungkinan besar yang menjadi asal muasal nama Kampung Gadjah. Dari kampung Gadjah, kita menyusuri tepian Ci Tarum hingga ke kaki Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini. Di kanan ada deras aliran air sungai, dan di kiri kita lihat kerucut sempurna Gunung Lalakon. 

Di Leuwisapi sampailah kita ke Ci Tarum, dan dengan sedikit perjuangan lagi tiba di tujuan utama, yaitu Curug Jompong. Ci Tarum meninggalkan dataran Bandung di sini dan menerobos perbukitan Selacau-Lagadar dan Lalakon dan membentuk beberapa air terjun dengan tinggi hingga 15 kaki atau 5 meter. Dari Curug Jompong kita masih harus berjalan sekitar 1.5 jam hingga Cimahi (yang capek bisa naik Sado – moda transportasi seperti delman). Jika masih ada waktu tersisa maka kunjungilah resort tepi danau Soeka Bernang. Kemudian peserta bisa naik kereta dari Cimahi kembali ke Bandung. 

MMKB08_000137465_mpeg21_p001_image.jpg
Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode 19 Desember 1918

Curug Jompong punya modal sejarah yang cukup untuk bangkit dan merebut kembali predikat lokasi wisata utama di Bandung raya. Saya ingin membandingkan Curug Jompong dengan Rheinfall, air terjun paling besar di Swiss dan di Eropa karena karakternya yang serupa. Kedua air terjun jatuh di sungai yang besar dan merupakan sungai utama di kedua daerah. Rheinfall jatuh di Sungai Rhein, sungai utama di Swiss dan Jerman, sementara Curug Jompong jatuh di Ci Tarum yang merupakan urat nadi kehidupan di Jawa Barat.

Semoga tulisan ini bisa merupakan langkah konkrit menuju jayanya kembali Curug Jompong di masa yang akan datang.

Curug Jompong Dulu dan Sekarang

Ci Tarum berkelok, berliku, dan mengalir pelan di dataran Bandung Selatan, kemudian menabrak batuan beku intrusi berumur 4 juta tahun di Perbukitan Selacau-Lagadar, tepatnya di Gunung Paseban. Karena menabrak dinding yang kuat dan resisten, Ci Tarum berbelok ke utara melewati Gunung Pancir, kemudian berbelok ke barat menerobos lembah antara Pasir Malang di sebelah selatan dan Gunung Lagadar di utaranya. Di kiri kanan-lembah ini terdapat beberapa bukit seperti Gunung Korehkotok, Gunung Gadung, dan Gunung Selacau. Di lembahan inilah, dengan batuan dasar batuan beku intrusif Dasit-Andesit, aliran Ci Tarum terdisrupsi batuan keras, membentuk jeram-jeram bertingkat, salah satu yang paling terkenal adalah Curug Jompong.

8b478ec4976924ab600f8fac9ce42c08.jpg
Curug Jompong di Ci Tarum tahun 1926. Diunduh dari akun Pinterest Diana Dien

Curug Jompong adalah sebuah monumen alam yang menawan. Pada masa kejayaan Kota Bandung di awal abad ke 20, Curug Jompong dikenal sebagai tempat orang-orang berwisata. Dalam bukunya yang berjudul “Gids van Bandoeng en Midden – Priangan” (kurang lebih artinya Panduan Mengenali Bandung dan Priangan Tengah), yang diterbitkan di Bandung tahun 1927 oleh penerbit Vorkink, Reitsma dan Hoogland menyebut Curug Jompong sebagai lokasi wisata di sekitar Kota Bandung yang bisa dikunjungi dalam sebuah perjalanan pendek.

cover
Halaman Muka Buku Panduan ke Bandung dan Priangan Tengah karya Reitsma dan Hoogland

Salah satu jalur yang disarankan oleh Reitsma dan Hoogland untuk mengunjungi Curug Jompong adalah dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Stasiun Andir ke arah selatan melewati daerah Cigondewah hilir (sekarang Taman Kopo Indah), menyebrangi Ci Tarum, kemudian sampai di daerah Gadjah, kurang lebih di daerah Kampung Mahmud (baca tentang Kampung Mahmud oleh Budi Brahmantyo di sini).  Gadjah adalah daerah penting dalam sejarah Priangan, karena merupakan ibukota dari Kabupaten Batulayang (lebih lanjut tentang Batulayang baca reportase Tirto).

Berikut deskripsi Reitsma dan Hoogland tentang jalur ini (diterjemahkan bebas dengan bantuan Google Translate):

“…Dari Gadjah kemudian melewati jalan Soreang-Batujajar menyusuri Ci Tarum dan mengitari Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini, di kanan mengalir sungai yang jernih berkilau, di kiri kerucut indah Gunung Lalakon. Boleh dibilang jalur Soreang – Batujajar melalui Curug Jompong adalah salah satu jalur paling indah di Pulau Jawa. Terutama di musim penghujan, kala aliran sungai penuh bergemuruh, air berlompatan meloncati bebatuan, lalu berdebur gelombang saling berhantaman. Deru air membentuk kabut yang tersusun dari jutaan titik air yang membiaskan cahaya mentari membentuk pelangi dengan latar bebatuan berwarna gelap.” 

Dalam catatan lain di buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (Bandung dan Dataran Tinggi), yang diterbitkan oleh Penerbit Visser & Co. cabang Bandung pada tahun 1930, Professor Th. H.F. Klompe, yang namanya diabadikan menjadi nama Perpustakaan Teknik Geologi ITB, menulis artikel Geologische Geschiedenis van de Vlaakte van Bandoeng (Kisah Geologi Dataran Bandung) dalam segmen Wat de Stennen zeggen (Apa yang disampaikan bebatuan). Dalam tulisannya ini Professor Klompe menulis tentang Curug Jompong.

Bandoeng en haar Hoogvlakte.png
Halaman muka buku Bandoeng en haar Hoogvlakt

“…Tji Tarum menerobos batuan vulkanik yang membentuk lembah terjal seperti ngarai. Segmen ini terbagi menjadi tiga tingkat jeram. Tingkatan yang pertama disebut Tjoeroeg Djompong, di mana air sungai jatuh di sekitar air terjun setinggi kurang lebih 15 meter. Sungai kemudian mengalir melalui ngarai yang terbentuk di antara dinding curam dan memiliki kedalaman 100 hingga 150 meter hingga jeram kedua yang terbentuk dari batuan vulkanik yang sama di tempat Tji Mahi bermuara ke Tji Tarum. Tji Tarum berbelok agak ke barat daya sehingga tidak memungkinkan untuk melihat ke arah timur. 

Di bagian bawah dari tebing, ditemukan endapan berlapis datar yang tidak selaras dengan tebing, yaitu endapan danau. Di sini ditemukan sisa-sisa kerang air tawar, sementara jika kita menggali lebih dalam akan menemukan batuan vulkanik dan tersier. Menurut Junghuhn, endapan ini terdiri atas endapan debu volkanik yang membentuk lapisan datar dan telah mengeras. Dari fakta-fakta geologi yang didapatkan bahwa dataran Bandung terbentuk dari seri endapan gunungapi dan lapisan paling muda (sebelum endapan danau) juga merupakan endapan gunungapi, maka pada masa pra-sejarah, erupsi gunungapi pastilah memiliki signifikansi yang tinggi.” 

Membaca catatan-catatan tua tentang Curug Jompong saya meringis, miris. Monumen alam luar biasa yang menempati tempat spesial di hati orang-orang yang menghargai keindahan alam, yang menghargai signifikansi sejarah suatu kisah, kini nasibnya begitu menyedihkan.

Boro-boro menjadi tempat wisata. Curug Jompong yang sekarang sangatlah memilukan. Jika seratus tahun yang lalu Reitsma bilang sungai yang mengalir jernih kemilau, yang ada sekarang adalah aliran dengan air beracun, penuh limbah, dan jeramnya menjadi pusaran sampah. Beberapa kali pembunuhan terjadi dan mayat yang dibuang ke Ci Tarum tersangkut di sini hingga masyarakat enggan berdekatan karena takut direpotkan.

Geomorfologinya yang megah yang menjeram air dari hulu malah dianggap sebagai penyebab banjir karena melambatkan aliran air. Ia dituduh sana-sini, menjadi kambing hitam atas kondisi alamiah Cekungan Bandung yang bahkan sudah banjir sejak sebelum Klompe menulis artikelnya.

Gunung-gunung di sekitar Curug Jompong yang ditulis Reitsma dan Hoogland sebagai salah satu latar pemandangan paling indah di Pulau Jawa pun kini malang nasibnya. Bopeng-bopeng dipocel sana-sini. Coba susuri jalan dari Stadion Si Jalak Harupat ke Cililin, jika hari normal maka debu beterbangan. Jika hari hujan maka lumpur berbanjiran di jalan. Tidak ada yang ingat bahwa kawasan itu pernah punya predikat yang luar biasa.

Dua dari tiga tingkatan jeram yang tercatat dalam tulisan Klompe pun tidak ada lagi sejak Saguling digenangi tahun 1985.

Lantas kita sekarang harus bagaimana?

Salah satu cara agar kita bisa mengapresiasi yang kita miliki adalah dengan mengenali lebih dekat. Napak tilas jalur wisata yang disarankan oleh Reitsma dan Hoogland boleh jadi salah satu titik awalnya. Dengan membuka catatan lama kita seolah menghidupkan kembali memori yang diabadikan penulis dalam tulisannya, seolah memutar balik waktu, mencoba membayangkan apa yang dilihat orang-orang di Bandung tempo dulu, hampir seratus tahun yang lalu.

Kembangkan jalur wisata, jalur berjalan kaki dari Soreang ke Batujajar dari Mohammad Toha sampai ke Cililin, dengan Curug Jompong sebagai pusatnya, dengan pemuda sebagai motornya. Jangan sampai Perbukitan Selacau-Lagadar hanya jadi halaman belakang pabrik-pabrik dan tambang seperti sekarang. Yang enggan kita mengunjunginya, yang segan kita mampir karena satpam menjagainya.

Sebelum semua kerucut intrusi gunungapi purba di Perbukitan Selacau-Lagadar dilinggis habis, sebelum jeram megah Curug Jompong dipangkas tumpas.

Selagi masih bisa kita menjaganya, selagi masih mungkin kita mengembalikan kejayaannya. Membawanya pada kejayaan yang baru, yang membikin orang nanti lupa bahwa Curug Jompong pernah begini merana, seperti kita sekarang lupa Curug Jompong pernah begitu memesona pada masanya.

Semoga.

urn-gvn-VKM01-A92-32-large (2).jpeg
Tjurug Djompong
curug-jompong
Curug Jompong dari udara. Foto Jurnalis Peduli Citarum

 

 

Membuka Ulang Catatan Franz Junghuhn Tentang Papandayan

Ketika sedang asik main di perpustakaan TU Darmstadt, saya tak sengaja melihat koleksi luar biasa di katalog daring, sebuah buku klasik dari salah satu pionir peneliti Pulau Jawa yang paling banyak dikutip peneliti setelahnya, Franz Wilhelm Junghuhn, judulnya “Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart”, cetakan kedua, diterbitkan di Leipzig tahun 1857.

Capture

Buat yang belum tahu Junghuhn itu siapa bisa lihat tulisan saya tentang Junghuhn di sini

Buku Junghuhn memuat catatannya ketika menjelajahi Pulau Jawa, dari barat ke timur. Ia membuat catatan terperinci mengenai geografi, flora, fauna, geologi, peristiwa kebencanaan, dan banyak lainnya di Pulau Jawa. Kualitas catatannya diakui sangat baik, terutama sketsa-sketsanya yang sangat detil dan menarik.

Junghuhn membagi bukunya yang lebih dari 1000 halaman ke dalam tiga bagian besar, bagian pertama “Beitrage zur Geschichte der Vulkane von West und Mittel Java” yang kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Kontribusi terhadap Kisah Gunung Api di Jawa Bagian Barat dan Tengah”.

Kemudian bagian kedua “Ost-Java, in Skizzen, entworfen auf einer Reise durch die Insel zu Ende des Jahres 1844″ yang kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Jawa Timur dalam sketsa, didesain dalam perjalanan menyusuri Pulau Jawa pada tahun 1844”.

Dan bagian ketiga “Die Vulkane der ubrigen Inseln des Indischen Archipels ausser Java, und die Erscheinungen die mit den Vulkanen in ursachlichem Zussamenhange stehen” kalau diterjemahkan kurang lebih menjadi “Gunungapi di luar Jawa di Kepulauan Hindia dan fenomena yang berkaitan dengan toponimi asal-usul nama gunungapi tersebut”

Karena bukunya dalam bahasa Jerman, saya sulit untuk baca dan mengerti. Saya hanya membuka-buka sekilas melihat sketsa-sketsa gambar dan daftar pustaka. Salah satu yang saya lihat adalah catatan Junghuhn tentang Papandayan yang saya kira cukup menarik untuk dibaca ulang tentu dibantu oleh Google Translate. Catatan ini berada di bagian kesatu buku,

“Pada malam hari tanggal  11 dan 12 Agustus 1772, terjadi satu-satunya erupsi yang diketahui dari gunung ini (Papandayan). Salah satu letusan terkuat yang terjadi dan mengakibatkan kekacauan di Pulau Jawa, terutama bagi mereka yang pernah berkunjung ke Jawa. Penduduk yang tinggal di lembahan di Garut berlarian kacau di tengah malam, karena melihat Puncak Gunung Papandayan yang berpijar benderang oleh nyala letusan. Pijarnya menyala terang, mengalahkan gelap malam. 

Dentuman bongkah dan gemuruh asap menjadi latar suara orang-orang yang panik berlarian. Bola api dan bongkah panas yang berpijar beterbangan di udara. Empat puluh desa di kaki Papandayan binasa, dan hampir tiga ribu orang menemui ajalnya, dikubur awan panas yang menerjangnya. 

Penduduk desa-desa yang lebih terpencil menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka bersegera melarikan diri, menghindari kehancuran oleh hujan batu berikutnya. Keesokan hari mereka menyadari dahsyatnya letusan Papandayan. Puncak Gunung Papandayan yang mereka kenal sudah tiada, hanya menyisakan celah kawah yang dalam terbuka, terbatuk-batuk hembuskan debu dan letusan yang masih tersisa. 

Pada hari yang sama dengan letusan Papandayan, dua gunungapi lainnya tak mau kalah dan terbangun juga, yaitu Gunung Ciremai dan Gunung Slamet. Gunung-gunung ini saling berjauhan! Entah ada hubungan apa di antara mereka?

Sejak 1843 hingga sekarang, ketika saya (Junghuhn) terakhir mengunjungi gunung ini, artinya dalam periode 71 tahun, pertumbuhan gunung telah menutupi hingga dua pertiga dari jurang kawah yang terbentuk 71 tahun sebelumnya. Endapan-endapan lontaran gunungapi seperti pasir dan abu yang menutupi lembah Garut telah ditutupi tanah, desa-desa baru bangkit kembali di kuburan yang lama.”

Picture1
Sketsa Papandayan oleh Junghuhn

Dalam laporannya, Junghuhn menuliskan tanggapannya mengenai laporan-laporan yang dibacanya untuk menuliskan kisah Papandayan. Salah satu kesimpulan Junghuhn kala itu adalah bahwa tidak ada orang Eropa yang melihat langsung kejadian letusan Papandayan. Catatan-catatan yang ada merupakan penutusan dari orang lokal sehingga banyak laporan yang tidak akurat karena keterbatasan pengetahuan bahasa Sunda bagi orang Eropa saat itu. Perlu dipahami juga bahwa pada 1772, Belanda hanya menguasai wilayah pantai, sementara di pedalaman hampir tidak ada orang Eropa.

Junghuhn juga menuliskan ulang kisah 40 orang yang selamat dari letusan Papandayan karena mereka bersembunyi di kebun pisang kecil (mungkin karena lokasi kebun pisang di dataran tinggi kata Junghuhn). juga kisah tentang dua orang Jawa yang sudah terkubur di dalam tanah tapi entah bagaimana caranya bisa menyelamatkan diri dari kematian. Secara total hampir 3000 orang meninggal dunia, sementara kerugian yaitu 40 desa lenyap, 1500 ternak, perkebunan kapas, indigo, serta kopi yang cukup luas juga hancur lebur.

Begitulah Junghuhn, ada banyak lagi yang bisa saya dapat dari buku ini jika saja saya mahir berbahasa Jerman. Membaca buku ini membuat saya semakin bersemangat untuk memperlancar bahasa Jerman saya yang terbata-bata dan tergagu-gagu.

Terima kasih Junghuhn, der Humboldt von Java, jasamu abadi.

Junghuhn_self-portrait
Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864)

Main dengan Story Maps ESRI

Saya sering banget memikirkan gimana caranya memvisualisasikan hasil survey biar kelihatan canggih. Baru minggu ini dapat jawabannya. Ternyata ESRI menyediakan fitur Story Maps. Di sini kita bisa bikin blog atau cerita tapi berbasis peta. Kalau pernah lihat liputan tsunami palu yang dirilis sama Kantor Berita Reuters, nah yang kaya gitu dibikin basisnya Story Maps.

Contohnya web map saya ini, judulnya Geowisata Bandung Barat Daya, yaitu titik-titik geowisata yang saya kunjungi beberapa tahun lalu. Lokasinya di selatan Pegunungan Rajamandala dan di bagian lain Genangan Saguling.

Ada sekitar 30 titik. Malas kalau ditulis satu per satu, tapi siapa juga yang mau baca kalau digabungkan semua dalam satu tulisan. Maka menampilkan dalam bentuk web map ini paling mantap.

Dari sini saya kepikiran untuk mengembangkan peta ini jadi lebih oke lagi. Nanti setiap titik akan saya coba untuk buat Cascade Storynya. Cascade Story adalah metode bercerita yang memanfaatkan scroll mouse atau geser atas bawah di handphone. Silakan mampir di web map saya. Tolong kabari kalau ada ide kira-kira apa yang harus ditambahkan.

Picture1

Geowisata Bandung Barat Daya

Picture1

Felsenmeer Odenwald

Gak kerasa saya kerjain ini hampir dua hari, tapi seru. Kalau mau belajar silakan buka youtube. Sudah banyak banget tutorial tentang cara pakai Story Maps.

Kelip Lampu dan Cinta Kota pada Penduduknya

Hampir sebulan sejak perjalanan saya ke Ghent, Belgia, saya tidak menulis apa-apa. Bukannya kenapa-kenapa, hanya saya bingung apa yang harus saya tulis saking berkesannya perjalanan saya ke sana.

Meski demikian ada satu tempat yang begitu berkesan di hati saya, yang ketika dijelaskan pada saya oleh pemandu tur jalan kaki saya, bergetar hati saya oleh haru. Tempat itu namanya Sint Veerleplein. Lokasinya di sebuah lapangan kecil di depan pintu masuk Kastil Gravensteen, di tepian Sungai Leie.

Sint Veerleplein dari Kastil Gravensteen

Di sini tak ada apa-apa. Jika saya tidak ikut tur saya pasti melewatkan tempat ini, karena hanya lapangan biasa saja.

Di lapangan ini pemandu kami, Fabian, menunjuk satu tiang lampu yang berada di tengah-tengah lapangan itu kemudian bercerita, “Tempat ini adalah salah satu tempat favorit saya di Kota Ghent. Kenapa? Karena saya pernah melihat orang menangis, tertawa, berjingkrak-jingkrak, bersulang, dan melakukan banyak hal lainnya.” Fabian menghela nafasnya sembari melanjutkan ceritanya, “Lihat tulisan di bawah kaki kalian” katanya “Di sana tertulis, tiang lampu ini terhubung pada rumah bersalin di Ghent, setiap kali lampu ini berkelip-kelip selama satu menit, itu artinya ada satu orang bayi lahir di Ghent, bertambah satu penduduk Ghent. Kelap-kelip lampu ini dipersembahkan untuk setiap bayi dan anak yang baru lahir di kota ini”

3F9A5627.JPG
The Streetlights on Sint Veerleplein are connected to the maternity hospitals in the city of Ghent. Everytime the lights slowly flashes, a child is born. This work is dedicated to the newborn and to all children who are born today in this city.

Fabian berhenti berbicara, kemudian melanjutkan pelan, “Indah bukan? Suatu keterikatan penduduk kota pada kelompoknya, bahwa setiap mereka yang lahir dianggap sebagai bagian dari penduduk Ghent, dan mereka merayakannya.”

Secara rata-rata dua puluh bayi lahir setiap harinya di Ghent, atau rata-rata setiap satu jam. Sayang ketika saya di sana, saya menunggu sekitar satu jam namun tidak cukup beruntung untuk melihat lampu itu berpendar nyala.

Lalu saya berpikir panjang dan bahkan terus memikirkannya hingga sekarang. Saya selalu yakin bahwa saya mencintai Bandung, kota kelahiran saya. Tapi apakah Bandung mencintai saya? Atau apakah penduduk Bandung mencintai saya? Atau bagaimana membuat orang merasa dicintai kotanya, seperti Kota Ghent dengan Sint Veerleplein-nya menunjukkan simbol rasa memiliki kota pada penduduknya.

Semoga kelak ada saatnya, saya duduk lagi di sana dan merayakan lahirnya penduduk baru Kota Ghent.

Video Tebing Hainstadt – Buntsandstein

 

Saya sudah lama ingin melihat langsung singkapan Buntsandstein yang batuannya saya lihat di mana-mana di Darmstadt. Batupasir merah ini memang mencolok dan mudah dikenali. Beberapa kali saya lihat singkapannya tapi biasa saja. Pas mampir di singkapan di daerah Hainstadt dekat perbatasan Hesse dan Bavaria ini saya terpana.

Singkapannya megah! Tebing tinggi besar dipakai oleh para pemanjat tebing untuk berlatih menyalurkan adrenalin. Warnanya merah mencolok, disinari matahari makin mencrang, kontras dengan langit dan pepohonan yang tumbuh di tepi dan atasnya.

Sekalian mencoba hobi baru membuat video, saya rekam-rekam dan otak-atik videonya secara amatir.

Jelajah Jalur Klasik Lembah Sungai Rhine: Burg Rheinstein

IMG_0345.JPG
Burg Rheinstein dan Singkapan Kuarsit

Saya membayangkan berabad-abad lampau ketika peperangan terus terjadi antara satu daerah dengan daerah lain. Raja-raja berlindung di kastil yang dibangun di atas bukit, di atas bebatuan yang kuat, agar tidak bisa ditembus dari mana pun. Tembok-tembok disusun tinggi, menjadi pelengkap dari perlindungan alami yang disediakan tebing alam.

Membayangkan kembali ke masa lampau dapat dilakukan dengan menyusuri Sungai Rhine di Jerman. Di sepanjang Sungai Rhine, kastil berderet begitu banyak di bukit-bukit di tepiannya, lebih dari jari bisa menghitungnya. Kastil-kastil yang berdiri tegak menegaskan perannya dalam sejarah panjang peradaban Eropa.

Lembah Rhine yang merupakan lembah subur di Jerman merupakan manifestasi dari Graben Rhine, sebuah graben yang terbentuk sejak awal Kenozoikum atau setelah kepunahan dinosaurus 65 juta tahun lalu. Secara geografis, Lembah Rhine bisa dibagi menjadi tiga segmen, Rhine Atas atau Oberrheingraben mulai dari Basel hingga ke Wiesbaden, kemudian Rhine Tengah atau Mittelrheingraben mulai dari Bingen hingga ke Bonn, dan Rhine Hilir yang dimulai dari Bonn hingga bermuara ke Laut Utara.

Jika Oberrheingraben terkenal dengan area pertanian subur yang dibatasi oleh Perbukitan Horst Odenwald dan Perbukitan Vosges yang berlitologi granit, Rhine Tengah atau Mittelrhein terkenal sebagai jalur wisata klasik, salah satu yang terindah di Jerman.

Jalur ini juga telah diakui sebagai warisan dunia UNESCO. Beberapa kriteria yang mendasarinya antara lain: sudah sejak dua milenium menjadi jalur utama transportasi di Eropa, bentangalam yang luar biasa meliputi tatanan geologi dan geomorfologi serta kebudayaan manusia yang berkembang di dalamnya seperti kastil, perkebunan anggur, dan kota-kota kecil.

Sungai Rhine yang mengalir dari arah selatan berbelok ke barat ketika menabrak bebatuan tua Perbukitan Taunus dengan litologi kuarsit. Sungai ini terus mengalir hingga akhirnya berbelok kembali ke utara di Bingen. Di sini sungai ini menggerus bebatuan Perbukitan Taunus, menyingkapkan bebatuan masif dengan struktur geologi terlipat kuat, menghasilkan lembah terjal yang mengagumkan.

Lembah terjal ini berliku sejauh 65 kilometer, mulai dari Bingen hingga ke Kota Koblenz.  Lembahnya sempit, lebar Sungai Rhine di sektor ini paling lebar hanya 130 meter dan paling sempit 20 meter saja. Mungkin di beberapa segmen lebih tepat disebut sebagai Ngarai. Di sepanjang lembah ini berdiri bangunan-bangunan saksi sejarah bermilenium kebudayaan Eropa. Selama seribu tahun naik turun kebudayaan manusia di sini, ada sekitar 40 kastil yang didirikan di tepian lembah.

Pada masa perang di abad ke 17 banyak kastil-kastil ini ditinggalkan. Hingga akhirnya pada akhir abad ke 18 di saat kesadaran untuk mengapresiasi sejarah dan alam menjadikan pemandangan dramatis Lembah Sungai Rhine Tengah dihargai dan daerah ini dikembangkan. Hingga pada abad ke-19 banyak dilakukan aktivitas restorasi dan rekonstruksi.

Burg Rheinstein adalah salah satunya. Ia berdiri megah di seberang Kota Assmannshausen. Kastil ini dibangun pada abad ke-14  di atas bebatuan kuarsit Formasi Taunusquartzit berumur Devon, Sempat menjadi puing akibat ditinggalkan, kastil ini kemudian dibeli oleh Raja Frederick dari Prussia yang mengembangkannya dan bahkan kastil ini menjadi lokasi berlibur kesukaannya. Hal yang wajar karena suasana damai yang ditawarkan Lembah Rhine dengan aliran sungai yang pelan dan menenangkan.

Kini kapal-kapal feri berlewatan setiap hari membawa turis yang datang dari arah utara dari Koblenz atau dari arah selatan dari Rüdesheim. Tur menyusuri Sungai Rhine ini memang lebih cocok dengan kapal feri. Ada banyak paket yang ditawarkan dengan berbagai macam bahasa pengantar, sayang tidak ada yang sesuai dengan anggaran bulanan mahasiswa seperti saya.

Alhasil saya berjalan kaki, dari Rüdesheim menyusuri perkebunan anggur di tepian lembah hingga ke Kota Assmanshausen sejauh 7 kilometer, yang sepadan setiap langkahnya. Yang singkapan-singkapan membentang sejauh mata memandang, dan aliran sungai, hijau lembah, dan kastil-kastil tua.

Di Assmanshausen saya berhenti dan memandangi Burg Rheinstein seraya menetapkan niat bahwa saya nanti akan kembali lagi. Menyusuri sisa Lembah Mittelrhein yang belum terlangkahi. Yang menanti untuk ditafakuri, yang menjadi sumber rasa syukur atas kesempatan yang didapatkan.

Untuk lihat video perjalannnya bisa mampir di kanal Youtube saya: Geotouren des Rudesheim am Rhein jangan lupa suka dan komentar ya!

Sampai jumpa lagi.

IMG_0382.JPG

IMG_0360.JPG
Singkapan kuarsit ke arah hulu dari Burg Rheinstein, perhatikan arah kemiringan lapisan

Der Ohrsberg, Kelok Purba Sungai Neckar

Proses fluvial merupakan proses paling dinamis di antara semua proses geomorfologi di bumi. Energinya besar dan mampu memindahkan massa dalam jumlah yang besar juga. Secara alamiah, air mengalir dari potensial tinggi ke potensial rendah. Meski demikian aliran air tidak harus selalu dari elevasi tinggi ke rendah, kadang bisa juga air mengalir naik dari elevasi rendah ke tinggi.

Selama prosesnya ia menggerus bebatuan yang dilewatinya. Membawa material batuan sebutir demi sebutir, seperjuta milimeter gerusannya namun secara terus menerus hingga tak terasa tebing tertoreh membentuk lembah terjal. Dia terus mencari jalur lemah, kemudian berkelok mengikuti bidang lemah perlapisan batuan atau jalur yang telah dibelah oleh kekar.

Di Eberbach, jejak itu nyata. Kisah panjang penggerusan batupasir Buntsandstein yang masif oleh derasnya aliran Sungai Neckar meninggalkan kisah epik tentang Der Ohrsberg, jejak kelok purba Sungai Neckar. Tepian Bukit Ohrsberg yang kini menjadi kota dan pemukiman, dulunya adalah sungai purba.  Kini lokasi ini termasuk ke dalam Geopark Odenwald-Bergstrasse, Global Geopark Network, UNESCO.

Sungai Neckar mengalir di negara bagian Baden Wuertemberg, Jerman dan sedikit segmennya di negara bagian Hesse. Sungai Neckar berkelok-kelok membelah bebatuan Mesozoikum, terutama Buntsandstein yang keras. Kota-kota dilewatinya, Tuebingen, Stuttgart, Heilborn, Eberbach, Heidelberg, hingga bermuara di Sungai Rhine di Mannheim.

Lebih jutaan tahun proses ini terjadi. Lebih panjang dari masa hidup manusia yang terlalu pendek untuk bisa mengamati proses alam ini. Prosesnya perlahan tapi pasti, pelan tapi mantap. Batuan yang keras digerus sedemikian rupa membentuk kelokan sungai, tebing, dan morfologi modern yang kita kenal sekarang.

Di Eberbach terdapat bukit Ohrsberg yang dikelilingi jejak kelok tua Sungai Neckar. Sisa kelok purba ini sulit diamati jika berada di lokasi karena kita berada di atasnya dan semua singkapan sudah tertutupi pemukiman.

Tapi dari citra satelit jejak itu terlihat jelas. Atau jika naik di atas menara pantau di Puncak Ohrsberg. Pada gambar di bawah dapat dibandingkan antara Sungai Neckar modern dengan Sungai Neckar purba yang mengitari Bukit Ohrsberg. Sungai Neckar mengalir dari arah tenggara dan kemudian berbelok ke arah timur laut dan memutari Bukit Ohrsberg, lalu kemudian mengalir lagi di jalur yang sekarang.

Sketch of Ohrsberg.jpg
Skema kelok purba Sungai Neckar di Eberbach
Hirschhorn Luftbild Gewerbegebiet
Kelok sungai modern Sungai Neckar di Hirschhorn, ke arah hilir dari Eberbach.  © Udo Glaser

Berdasarkan analisis dari data polen yang dilakukan oleh Fritz Fezer dan Kurt Werner  (1993) pada endapan sungai di meander purba Ohrsberg, umur endapan sungai ini diperkirakan sekitar 800 ribu tahun. Artinya 800 ribu tahun yang lalu, Sungai Neckar mengitari Bukit Ohrsberg membentuk meander. Angka ini masih merupakan perkiraan, diperlukan penarikhan absolut untuk menentukan umur yang sesungguhnya.

Leher meander purba itu terus menipis hingga akhirnya bobol di lokasi yang kini menjadi Stasiun Eberbach, meninggalkan sungai lama yang kehilangan aliran utamanya dan menjadi contoh sempurna mengenai jejak meander purba.

Menariknya, di endapan meander purba Ohrsberg ditemukan fosil gigi taring beruang. Fosil ini ditemukan oleh Florian Heller pada 1938 dan dilaporkannya dalam laporannya „Die Bärenzähne aus den Ablagerungen der ehemaligen Neckarschlinge bei Eberbach im Odenwald“, fosil ini diberinya nama Ursus eberbachensis, Beruang Gua Eberbach. Beruang ini punah di akhir zaman es.

Gigi taring yang ditemukan relatif kecil dan datar mengindikasikan beruang ini merupakan pemakan tumbuhan dan tidak sebesar Beruang Gua, yang kelak menjadi produk evolusinya. “Tapi jangan digambar lucu dan gemas, ia masih tetap mematikan” kata geolog dan paleontolog, Marco Lichtenberger ketika penulis buku  „Pfad der Flussgeschichte“ bertanya padanya ketika mencoba mengilustrasikan Beruang Gua Eberbach.

hoehlenbaer
Beruang Gua – http://claus-rixen-schule.lernnetz.de/steinzeit/aufgabe3/loesung3.htm

Kini jika kita naik ke atas bukit Ohrsberg, kita bisa amati perumahan mengitari bukit Ohrsberg. Coba imajinasikan pemukiman yang dibangun mengitari Ohrsberg ini adalah aliran Sungai Neckar purba. Lalu lihat juga ke arah barat daya, ke tebing di seberang Sungai Neckar, Pleutersbach, bayangkan dulu kedua bukit ini bersatu hingga akhirnya digerus Sungai Neckar yang hingga kini tak pernah berhenti mengerosi.

Narasi geowisata di Ohrsberg ini sangat luar biasa. Tentang dinamika meander sungai dan evolusi kehidupan yang mengiringinya, kota yang dibangun di atasnya. Tentang hubungan antara endapan yang tua dengan endapan yang lebih muda. Tapi terutama adalah hubungan antara manusia dengan Penciptanya.

Tuhanku, sungguh tiada sia-sia Engkau ciptakan segalanya. Maha Suci Engkau, jauhkanlah aku dari api neraka.

IMG_0184.JPG
Endapan kerikil kelok sungai purba
IMG_0190.JPG
Batuan Buntsandstein penyusun Bukit Ohrsberg

Buntsandstein, Batupasir Penyusun Istana-Istana

IMG_0004
Ludwigsmonument di Luisenplatz

Menjadi karakter dasar seorang geolog untuk mengamati batuan yang ada di sekitarnya. Bebatuan yang menyusun bangunan-bangunan, yang menjadi hiasan dinding, lantai, patung, dan bentuk-bentuk lain yang melibatkan batuan sebagai komponen dasarnya. Terkadang karakter ini terlihat aneh bagi orang lain tatkala melihat seorang geolog sedang bercengkerama dengan bebatuan yang dilihatnya. Ia meraba, mengamati dengan saksama, memukul dengan palunya, menyeketsa dengan pensilnya. Ia kantongi batuan sebagai buah tangan tempat yang dikunjunginya. Dan kamu bisa melihat koleksi bebatuan di rak lemarinya.

Begitu pun saya. Ketika pertama sampai di Jerman, saya begitu terkagum-kagum pada bangunan-bangunan tua yang ada di sini. Pada kastil-kastil yang dibangun di atas bukit-bukit, juga bangunan tua yang menjadi ikon kota-kota. Salah satu hal yang saya perhatikan adalah batuan merah yang menjadi material utama bangunan-bangunan tua itu. Salah satunya adalah tugu di tengah-tengah Luisenplatz, Darmstadt, kota saya tinggal.

Sering saya perhatikan batuan merah ini menjadi batuan penyusun bangunan, mulai dari rumah-rumah tua, gedung-gedung di dalam kota, kastil, contoh kastil yang paling ternama adalah Kastil Heidelberg, yang juga sama dibangun dari susunan batuan ini juga. Selain itu ada juga Freiburg Muenster, Strasbourg Muenster, St. Bartholomeus Kaiserdom Frankfurt, Basel Muenster, Johannesburg Palace di Aschaffenburg, dll. Seketika teringat Candi Borobudur yang disusun dari batuan andesitik hasil volkanisme di sekitarnya, Merapi, Merbabu, dan Sumbing.

heidelberg-3321047_960_720
Kastil Heidelberg di Heidelberg, Baden Wuertemberg

Ternyata batuan penyusun bangunan-bangunan megah ini adalah batupasir merah Buntsandstein yang berumur Mesozoikum, tepatnya Permian Akhir hingga Triasik Pertengahan, sekitar 252 – 246 juta tahun yang lalu. Pada mulanya, formasi ini dikenal menjadi batas permulaan Mesozoikum, namun ternyata kemudian diketahui bahwa periode pengendapan formasi ini bermula lebih awal, tepatnya di akhir kala Permian.

Buntsandstein jika kita terjemahkan berarti batupasir berwarna. Ia tidak disebut sebagai batupasir merah atau Rotliegend, karena ternyata sekitar 150 tahun lalu, ketika formasi ini pertama diteliti, nama Buntsandstein telah digunakan dan menjadi familier.

Formasi ini adalah formasi batuan yang penyebarannya cukup luas di Eropa; Polandia, Jerman, Denmark, Belanda, hingga ke selatan Inggris. Pengendapannya terjadi  pada lingkungan darat dengan kondisi iklim arid. Ketebalan formasi ini mencapai 1 km di pusat cekungannya, yaitu di sekitar utara Hessen dan di selatan dari Niedersachsen.

Karena morfologinya yang menarik Buntsandstein banyak membentuk monumen-monumen alam yang megah. Beberapa contohnya seperti:

  1. Teufeltisch –> Meja Setan, lokasi di Wasgau, Rhineland Palatinate
  2. Altschlossfelsen –> Bebatuan Kastil Tua, lokasi di Brechenberg, Rhineland Palatinate
  3. Lange Anna, Holigoland, Laut Utara
  4. Stiefel –> Batu Sepatu Boots, lokasi St. Ingbert Saarland
548px-2012_05_18_023_Teufelstisch_(Wiki_Loves_Earth_2015)
Von Friedrich Haag – Eigenes Werk, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=40524113
675px-Altschlossfelsen
Von Christian Rosenbaum – Eigenes Werk, CC BY-SA 3.0 de, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=32679169
1200px-Lange_Anna,_Helgoland
Von Teta2015 – Eigenes Werk, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=40621066
Stiefel
Von Pixelfeuer, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=3243308

Sumber: https://de.wikipedia.org/wiki/Buntsandstein